Senin, 14 Desember 2015

Kaidah Fikih dalam Pemilihan Pemimpin


Menegakkan sebuah kebaikan, melarang sebuah kemungkaran serta berdakwah memang merupakan bagian dari kewajiban agama yang terpenting. Bagi mahasiswa muslim, dalam melaksanakan tujuan tersebut harus ada proses kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan yang baik serta yang terpenting dengan keimanan dan amal shaleh.

Dalam proses regenerasi kepemimpinan haruslah dipahami terlebih dahulu bagi calon pemimpin bahwa dilarang meminta dan berambisi dalam meraihnya. Seperti yang dicontohkan Rasulullah g. Dari Abu Musa h, ia berkata, “Aku datang menghadap Nabi g bersama dua orang lelaki dari kaumku, maka salah seorang dari kedua orang tersebut berkata “Berilah kami kepemimpinan wahai Rasulullah.” Orang lain pun mengatakan demikian. Beliau bersabda, “Sesungguhnya kami tidak memberikannya kepada yang meminta dan juga tidak memberikan kepada yang berambisi. (Muttafaq Alaih)

Dalam kaidah fikih dawah Mustafa Mansyur menyatakan bahwa seorang anggota jama’ah di mananpun ia bertugas  harus mempersiapkan diri untuk menjadi panglima dan bersedia memikul amanah pimpinan tatkala tiba masanya untuk dipilih menjadi pemimpin serta melaksanakan tugas kewajibannya dengan sempurna dan sebaik mungkin.

Pemilihan pemimpin juga ditinajau dari lemah tidaknya soseorang dalam menunaikan hak-haknya kepada jama’ahnya, sehingga kepemimpinan merupakan hak bagi laki-laki (ikhwan) yang diberikan anugrah berupa kelebihan daripada perempuan (akhwat). Seperti yang disabdakan Rasulullah h, “Tidaklah beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada perempuan.” (HR. Bukhari)

Oleh karena itu seorang yang sudah dipilih dan dipercayai oleh jama’ahnya, haruslah baginya untuk menerimanya untuk kebaiakn agama dan jama’ah tersebut. Penetapan pilihan dari jama’ah pastinya tidak hanya main-main atau sekedar ikut-ikutan saja. Pemimpin dipilih berdasarkan banyak pertimbanagan, sehingga tidak mungkin diamanhkan kepada sesorang yang belum berjiwa hanif atau malah perempuan (akhwat).

Bagi anggota jamaah sendiri, dalam menyikapi pemilihan ketua umum yang baru dan kepengurusan organisasi. Hendaklah bersikap tidak berlebihan dan tidak pula mengabaikannya. Terlebih dahulu kita memohon petunjuk kepada Allah c kemudian bertawakkal den menerima yang Allah pilihkan nantinya. Kita bisa memilih, orang lain pun juga memilih, dan tentunya setiap orang memiliki pilihan masing-masing. Namun, diantara pilihan manusia tersebut, pilihan Allah itu yang terbaik.

Artinya kita harus bersikap lapang dada dengan yang Allah putuskan. Dalam prosesnya, kita tidak bisa pasrah 100% atau punya kehendak 100%, karena itulah yang dinamakan takdir. Tugas kita hanya berusaha untuk memilih jalan yang baik dengan teman-teman yang baik-baik pula. Begitu pula dengan amanah, hal itu juga merupakan sebuah takdir Allah kepada hambanya. Orang yang punya niat baik, Allah pun akan menempatkan dirinya pada kebaikan pula.

Bagi jama’ah harus dipahami bahwa pemilihan pemimpin bukan dilihat dari mana dia berasal, apa sukunya, dari keturunan apa atau yang masih sering jadi persoalan fikrahnya apa. Persangkaan-persangkaan negatif ini semestinya kita hindari. Dalam situasi seperti ini, yang paling penting yakni kepantasannya sebagai uswah dalam kelompok tersebut.

Ibnu Taimiyah mencontohkan, pengangkatan Abu Bakar bukan karena bay’ah Umar ibn al-Khattab dan Tsaqifah bani Sa’idah dan pengangkatan khalifah Umar bukan karena wasiat Abu Bakar. Mereka dipilih karena kepercayaan dan sumpah setia orang-orang yang memiliki kekuatan, kemudian diikuti oleh umat Islam. Seandainya umat Islam ketika itu tidak menyetujui Abu Bakar maupun Umar, maka mereka berdua tidak berhak menjadi khalifah.

Dalam sebuah muswa (muktamar), sudah sepatutnya kita mencontoh para Sahabat Nabi yang mulia tersebut. Di sini kita punya tanggung jawab dan peran besar dalam menyukseskan agenda yang sangat penting itu, yaitu dengan cara kita terlibat dalam pemilihan dan punya kontribusi untuk membantu melaksanakan prosesnya.

Dalam pemilihan calon pemimpin, pastinya ada syarat yang harus dimiliki oleh calon tersebut. Ibnu Taimiyah membagi kualifikasi yang harus dipenuhi oleh pemimpin ada dua yang merupakan syarat mutlak. Ibnu Taimiyah menetapkan kejujuran (amanah) dan kewibawaan atau kekuatan bagi kandidat pemimpin atua ketua umum pada sebuah organisasi. Indikasi kejujuran seseorang, menurut Ibnu Taimiyah, dapat dilihat pada ketaqwaannya kepada Allah dan sikap takutnya kepada manusia selama dia berada pada posisi yang benar. Untuk menopang pendapat ini, Ibnu Taimiyah mengutip ayat Al-Qur’an surat an-Nisa’, 4: 58 yang memerintahkan umat islam untuk menyerahkan amanah kepada orang yang berhak menerimanya:

¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ...

Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) bila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil...

Sebagai konsekuensi dari prinsip diatas, seorang pemimpin nantinya harus menempatkan anggota-anggotanya sesuai dengan keahlian, bukan berdasarkan pertimbangan subjektif-kolutif. Dengan pertimbangan ini, di sini kita lebih menerapkan asas profesionalisme. Seorang pemimpin adalah pembimbing dan pengayom bagi anggotanya. Tugas dan tanggung jawabnya sangat berat sesuai dengan otoritas yang dipercayakan dari anggotanya. Kewajiban terpenting bagi pemimpin di sini berkaitan dengan amar ma’ruf nahy munkar.

Begitu beratnya tugasnya pemimpin, sehingga dia harus memiliki kewibawaan yang tinggi agar perintah-perintahnya dapat dilaksanakan dengan baik. Amanah dan kewibawaan inilah yang menjadi landasan penting bagi pemimpin dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dengan demikian insya Allah akan tercipta sebuah organisasi yang baik dan adil yang merupakan tujuan mulia yang dikehendaki Allah .

Namun, jika kita melihat kualitas kandidat pemimpin saat ini yang bisa memenuhi dua kualifikasi tersebut sekaligus, sangat sedikit sekali. Tapi bukan berarti tidak ada. Jika calon pemimpin tersebut niat dan tujuannya bukan karena manusia, tapi semata-mata karena Allah. Insya Allah kualifikasi tersebut akan bisa terpenuhi berbarengan ketika dia sudah menjabat dan menjalankan amanah tersebut.

Muhammad Fatchur Rochman (Akha)