Menegakkan sebuah kebaikan, melarang sebuah kemungkaran serta berdakwah memang merupakan bagian dari kewajiban agama yang terpenting. Bagi mahasiswa muslim, dalam melaksanakan tujuan tersebut harus ada proses kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan yang baik serta yang terpenting dengan keimanan dan amal shaleh.
Dalam proses
regenerasi kepemimpinan haruslah dipahami terlebih dahulu bagi calon pemimpin
bahwa dilarang meminta dan berambisi dalam meraihnya. Seperti yang dicontohkan
Rasulullah g. Dari Abu Musa h, ia berkata, “Aku datang
menghadap Nabi g bersama dua orang lelaki dari kaumku, maka salah seorang
dari kedua orang tersebut berkata “Berilah kami kepemimpinan wahai Rasulullah.”
Orang lain pun mengatakan demikian. Beliau bersabda, “Sesungguhnya kami tidak memberikannya kepada yang meminta dan juga
tidak memberikan kepada yang berambisi. (Muttafaq Alaih)
Dalam kaidah
fikih dawah Mustafa Mansyur menyatakan bahwa seorang anggota jama’ah di
mananpun ia bertugas harus mempersiapkan
diri untuk menjadi panglima dan bersedia memikul amanah pimpinan tatkala tiba
masanya untuk dipilih menjadi pemimpin serta melaksanakan tugas kewajibannya
dengan sempurna dan sebaik mungkin.
Pemilihan
pemimpin juga ditinajau dari lemah tidaknya soseorang dalam menunaikan
hak-haknya kepada jama’ahnya, sehingga kepemimpinan merupakan hak bagi
laki-laki (ikhwan) yang diberikan
anugrah berupa kelebihan daripada perempuan (akhwat). Seperti yang disabdakan Rasulullah h, “Tidaklah beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka
kepada perempuan.” (HR. Bukhari)
Oleh karena
itu seorang yang sudah dipilih dan dipercayai oleh jama’ahnya, haruslah baginya
untuk menerimanya untuk kebaiakn agama dan jama’ah tersebut. Penetapan pilihan
dari jama’ah pastinya tidak hanya main-main atau sekedar ikut-ikutan saja.
Pemimpin dipilih berdasarkan banyak pertimbanagan, sehingga tidak mungkin
diamanhkan kepada sesorang yang belum berjiwa hanif atau malah perempuan (akhwat).
Bagi anggota
jamaah sendiri, dalam
menyikapi pemilihan ketua umum yang baru dan kepengurusan organisasi. Hendaklah bersikap tidak
berlebihan dan tidak pula mengabaikannya. Terlebih dahulu kita memohon petunjuk
kepada Allah c
kemudian bertawakkal den menerima yang Allah pilihkan nantinya. Kita bisa memilih, orang lain pun juga memilih, dan tentunya setiap orang
memiliki pilihan masing-masing. Namun, diantara pilihan manusia tersebut,
pilihan Allah itu yang terbaik.
Artinya kita harus bersikap lapang
dada dengan yang Allah putuskan. Dalam prosesnya, kita tidak bisa pasrah 100%
atau punya kehendak 100%, karena itulah yang dinamakan takdir. Tugas kita hanya
berusaha untuk memilih jalan yang baik dengan teman-teman yang baik-baik pula. Begitu pula
dengan amanah, hal itu juga merupakan sebuah takdir Allah kepada hambanya.
Orang yang punya niat baik, Allah pun akan menempatkan dirinya pada kebaikan
pula.
Bagi jama’ah
harus dipahami bahwa pemilihan pemimpin bukan dilihat dari mana dia berasal, apa sukunya, dari keturunan apa atau
yang masih sering jadi persoalan fikrahnya apa. Persangkaan-persangkaan negatif
ini semestinya kita hindari. Dalam situasi seperti ini, yang paling penting
yakni kepantasannya sebagai uswah dalam kelompok tersebut.
Ibnu Taimiyah
mencontohkan, pengangkatan Abu Bakar bukan karena bay’ah Umar ibn al-Khattab dan Tsaqifah bani Sa’idah dan
pengangkatan khalifah Umar bukan karena wasiat Abu Bakar. Mereka dipilih karena
kepercayaan dan sumpah setia orang-orang yang memiliki kekuatan, kemudian
diikuti oleh umat Islam. Seandainya umat Islam ketika itu tidak menyetujui Abu
Bakar maupun Umar, maka mereka berdua tidak berhak menjadi khalifah.
Dalam sebuah
muswa (muktamar), sudah sepatutnya
kita mencontoh para Sahabat Nabi yang mulia tersebut. Di sini kita punya
tanggung jawab dan peran besar dalam menyukseskan agenda yang sangat penting
itu, yaitu dengan cara kita terlibat dalam pemilihan dan punya kontribusi untuk
membantu melaksanakan prosesnya.
Dalam
pemilihan calon pemimpin, pastinya ada syarat yang harus dimiliki oleh calon
tersebut. Ibnu Taimiyah membagi kualifikasi yang harus dipenuhi oleh pemimpin
ada dua yang merupakan syarat mutlak. Ibnu Taimiyah menetapkan kejujuran (amanah) dan kewibawaan atau kekuatan
bagi kandidat pemimpin atua ketua umum pada sebuah organisasi. Indikasi kejujuran
seseorang, menurut Ibnu Taimiyah, dapat dilihat pada ketaqwaannya kepada Allah
dan sikap takutnya kepada manusia selama dia berada pada posisi yang benar.
Untuk menopang pendapat ini, Ibnu Taimiyah mengutip ayat Al-Qur’an surat
an-Nisa’, 4: 58 yang memerintahkan umat islam untuk menyerahkan amanah kepada
orang yang berhak menerimanya:
¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ...
Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) bila menetapkan hukum diantara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil...
Sebagai
konsekuensi dari prinsip diatas, seorang pemimpin nantinya harus menempatkan
anggota-anggotanya sesuai dengan keahlian, bukan berdasarkan pertimbangan
subjektif-kolutif. Dengan pertimbangan ini, di sini kita lebih menerapkan asas
profesionalisme. Seorang pemimpin adalah pembimbing dan pengayom bagi
anggotanya. Tugas dan tanggung jawabnya sangat berat sesuai dengan otoritas
yang dipercayakan dari anggotanya. Kewajiban terpenting bagi pemimpin di sini
berkaitan dengan amar ma’ruf nahy munkar.
Begitu
beratnya tugasnya pemimpin, sehingga dia harus memiliki kewibawaan yang tinggi
agar perintah-perintahnya dapat dilaksanakan dengan baik. Amanah dan kewibawaan
inilah yang menjadi landasan penting bagi pemimpin dalam melaksanakan
tugas-tugasnya. Dengan demikian insya
Allah akan tercipta sebuah organisasi yang baik dan adil yang merupakan
tujuan mulia yang dikehendaki Allah .
Namun, jika
kita melihat kualitas kandidat pemimpin saat ini yang bisa memenuhi dua
kualifikasi tersebut sekaligus, sangat sedikit sekali. Tapi bukan berarti tidak
ada. Jika calon pemimpin tersebut niat dan tujuannya bukan karena manusia, tapi
semata-mata karena Allah. Insya Allah
kualifikasi tersebut akan bisa terpenuhi berbarengan ketika dia sudah menjabat
dan menjalankan amanah tersebut.
Muhammad Fatchur Rochman
(Akha)